Batu Bara, Perisainusantara.com
Cerpen, Penulis Danil Fahmi SH |
Teringat kisah 2 tahun nan lalu, ketika itu masih membersamai Almarhumah Ibunda tercinta. Lama sudah janji itu terucap, bahwasanya Seorang Ibu mengajak putranya yang berada diluar kota untuk pulang kampung dan mengajak sang Ibu berjalan-jalan. Sekadar melihat pembangunan di kampung ini, yang sudah 2 (dua) tahun ini tak pernah dikelilingi Sang Ibu. Paling jauh, Ibunda (selanjutnya kusebut “omak”) hanya memenuhi undangan hajatan keluarga di kampung sebelah. Hari ini, matahari cerah menghangati permukaan aspal jalanan kawasan industri Kuala Tanjung (kalau dulu kami menyebutnya daerah “proyek”), menambah gairah untuk sekadar menghantar berjalan-jalan.
Tak banyak yang bisa dilihat di perkampungan kami ini, kecuali hanya dominasi pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit dan turunannya serta pabrik pertama yang dibangun disini, Indonesia Asahan Aluminium, bahkan omak kami tak pernah menghafal nama-nama korporasi besar itu, kecuali hanya PT. Multimas Nabati Asahan, itupun karena adik iparnya (paman kami) pernah bekerja di perusahaan itu. Untuk perusahaan lainnya, Beliau sama sekali tak pernah mengetahui, karena mungkin Beliau tak pernah membaca ataupun searching menggunakan hp android atau pula pemberitaannya tak pernah published di stasiun TV yang sering ditonton Omak kami.
Sepanjang jalan Beliau mengeluhkan jalanan yang rusak dan berlobang, apalagi dengan mobil kami yang bertype Sejuta Umat, diperparah dengan debu yang kering berhambur dari pengangkutan galian tanah kuning yang menjamur untuk penimbunan jalan tol atau sekadar pembangunan area pabrik baru bahkan untuk pembangunan usaha pribadi warga lokal.
Matanya liar mengamati sekeliling, bukan karena tak mengenali area, justru karena beliau hafal betul jalan yang sedang dilalui karena dahulu adalah perlintasannya ke ladang milik buyut kami atau sekadar mengantar bekal makan siang buyut dan pekerja diladang sekitar dusun Alai di negeri Kedatukan Tanjung Limau Purut. Dan dia pun berdecak kagum, karena banyak sudut sudut kampung yang tak lagi dikenalinya. Simpang inpres yang rata dengan tanah kuning, sebab merupakan pintu / tol gate jalur Tebing Tinggi-Kuala Tanjung, gudang gudang tak bernama yang hampir rata memenuhi setiap jengkal access road Kuala Tanjung sebagai depot-depot container maupun gudang peralatan project perusahaan besar dan lain sebagainya.
Akupun tak mampu menjelaskan satu persatu, usaha-usaha yang dijalankan gudang gudang dimaksud, konon pula mengenali pemiliknya yang kadang tanpa sowan membuat usaha di kampung ini. Tak habis-habisnya Omak bergumam seraya berkata dengan logat melayu pesisir pantai timurnya : “banyak botul gudang orang ini, apo lah yang nak dibuat orang ni yo ?”. “Ntahlah mak, tak ado duit awak nak buat usaho, menengok orang sajolah”, jawabku sekenanya.
Semakin ditelusuri, jalan INALUM ini (Access road, orang disini menyebutnya demikian), semakin sumringah wajah Omak kami, akupun larut dalam bahagia di senyumnya walaupun aku hampir tak pasti apa yang ada dalam fikirannya. Yang jelas tugasku hari ini adalah membawanya jalan-jalan bukan untuk menjelaskan rencana tata ruang dan tata wilayah Kawasan Industri Kuala Tanjung (demikian perangkat Pemerintah Tingkat I Sumatera Utara menyebut kampung kami ini).
Sampai di gedung berwarna-warni dan cantik dengan kaca mendominasi dinding, orang di sini menyebutnya Pelindo (padahal itu adalah gedung PT. Prima Multi Terminal, perusahaan anak usaha Pelindo 1), dia kembali tertekun dengan bagusnya desain futuristic kantornya ditambah dengan elegannya desain dan ornament masjid PT. PMT. Tak habis-habis ia bergumam syukur diujung lidahnya. “Cantik botullah kantor uwang ni yo mi …”, “Iyolah mak, bukan tanggung tanggung duitnyo ...”, begitu timpalku, seolah tahu anggaran yang dibuat korporasi untuk membangun pelabuhan di Kuala Tanjung ini.
Selanjutnya kami sedikit berputar dan berbalik arah, dan melewati gedung INALUM Building. Sudah terlewat hampir ke gedung BNI, Omak pun bertanya : “kantor apo dibangun uwang ni mi ? … tinggi botul …”, komentarnya membuatku harus kembali ke belakang namun tak harus memutar kepala mobilku. Mundur beberapa meter, akhirnya tepat didepan pintu gerbang INALUM Building (yang ketika itu belum selesai dibangun), Omak bergumam “Ya Allah … memudahanlah anak cucu odan ado yang bekojo disini …” (sambil merapat tangannya, aku tahu Beliau sedang berdo’a). Dengan kode tangannya, Omak menyuruhku melanjutkan perjalanan.
Begitulah omakku, berdoa untuk dan keluargaku hari ini, begitu pula setidaknya sebuah pesan pernah tersebutkan oleh seorang Tuan Guru tersohor di kampung ini, Tuan Syeikh Muhammad Zein, yang menyatakan wilayah ini dengan sebutan tanah emas. maka tak ada satu alasan bagiku untuk tidak menjaga dan mempertahankan daerah ini menjadi warisan dan wasiat bagi generasi penerusku, sebagai pelakon, bukan sebagai penonton. Kawasan industri Kuala Tanjung bukan hanya cita-cita Negara, tapi juga do’a leluhur kami yang mendirikan kampung ini.
"Burung kepodang hinggap di pohon seri"
"Terbang rendah mencari makan"
"Kalaulah tuan datang kenegeri kami"
"Niat baik Tuan kami sanjungkan"
"Dari Kuala Tanjung ke pelabuhan Belawan"
"Membawa sanak bersilaturahmi"
"Kami bertahan bukan melawan"
"Mencari sahabat acuan kami"
"Doa yang baik Tuan niatkan"
"Tekun berusaha jadi tumpuan"
"Tangan hamba kami ulurkan"
"Jadikan kami sahabat Tuan"
Jangan ragukan kawan sejalan
Sampai mati kami pertaruhkan.
Ditulis oleh Danil Fahmi, SH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar