Kenapa Publisher Right Platform Digital Sepatutnya Ditolak Masyarakat Pers... ?
Oleh Wina Armada Sukardi, pakar hukum pers dan Kode Etik Jurnalistik
Jakarta -Perisainusantara.com- (16/02/2023)
RAPAT koordinasi pembahasan draf Peraturan Presiden (Perpres) terkait publisher right platform digital yang dihadiri oleh anggota Dewan Pers, para wakil konstituen Dewan Pers, unsur perwakilan Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemkopolhukam), serta wakil Sekretariat Negara pada 15 Pebruari lalu berlangsung ricuh. Belum masuk ke pokok perkara, rapat sudah gaduh dan terpaksa dihentikan untuk ditunda.
Konsep publisher right platform digital sendiri, sebenarnya, belum pernah dibahas secara tuntas di masyarakat pers, dan masih cenderung menjadi pemikiran personal.
Draf konsep publisher right platform digital tiba-tiba disodorkan ke Pemerintah oleh beberapa personal Dewan Pers Periode yang lalu.
Meski telah ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers saat itu, M. Nuh, sejatinya, beberapa anggota Dewan Pers yang lalu sendiri mengaku konsep itu belum disahkan dalam rapat pleno. Detailnya belum dibahas. Hanya pada waktu injure time peralihan dari anggota Dewan Pers lama ke Dewan Pers baru, draf itu tiba-tiba sudah “disorong” ke Pemerintah sebagai gagasan Dewan Pers.
Saya secara personal, sudah sejak awal menegaskan untuk berhati-hati menerapkan draf konsep publisher right platform digital tersebut. Belakangan bahkan saya lebih jauh lagi tegas menolak draf publisher right platform digital itu.
Secara terbuka saya menganjurkan kepada para wartawan senior untuk menolak konsep ini diatur dan ditetapkan oleh Pemerintah khususnya melalui Perpers.
" Mengundang Pemerintah Mengatur Pers "
UU Pers No 40 Tahun 1999 merupakan buah reformasi yang sampai kini masih murni. Dalam UU Pers sudah jelas, Pemerintah tidak diberi ruang untuk ikut campur dalam urusan pers. Pengalaman telah membuktikan, jika Pemerintah (siapapun) diberi kesempatan untuk ikut mengatur pers, betapapun kecilnya, maka kesempatan itu sudah pasti dimanfaatkan untuk menanamkan pengaruh Pemerintah kepada pers. Sejarah telah membuktikan hal itu.
Dengan demikian jelas, permintaan sebagian anggota pers agar pemerintah ikut campur lagi dalam urusan pers melalui publisher right platform digital merupakan kemunduran nyata dan mendasar dari prinsip independensi pers dari campur tangan Pemerintah. Langkah itu merupakan bentuk nyata penghianatan terhadap swaregulasi dalam UU Pers. Memang konsep publisher right platform digital bukan dari Pemerintah, namun begitu Pemerintah disodorkan draf ini, tak heran jika pemerintah langsung “menyambar” kesempatan ini. Seperti botol mendapat tutupnya.
*Tak Ada Dasar UU Pers*
Tak ada satupun pasal atau ayat dalam UU Pers yang memberikan pintu masuk Pemerintah untuk ikut campur mengatur pers, termasuk dalam bidang administrasi dan korporasi pers. UU Pers hanya memberikan satu ketentuan yang memungkinkan Pemerintah mengeluarkan Kepres, yaitu soal pengakatan anggota Dewan Pers. Itu pun Presiden sebagai kepada Pemerintahan. Itu pun Presiden tidak memiliki kewernangan memilih melainkan hanya mengesahkan. Selebihnya semua pintu tertutup.
Dari mana dasar dan cantolan Pemerintah mau mengeluarkan Perpers publisher right platform digital di UU Pers?!... Tak ada... Tak ada sama sekali. Jadi peraturan Pemerintah soal publisher right platform digital sama sekali tidak berdasarkan UU Pers. Bahkan peraturan Pemerintah itu jelas-jelas bertabrakan dengan prinsip-prinsip UU Pers.
Saya tentu tidak faham jika pemerintah memakai cantolanya dari langit ke tujuh. Tidak faham juga kalau Pemerintah memang nekat tidak mau menghormati UU Pers.
*Memberi Kepala untuk Dipenggal*
Ada yang berdalih, publisher right platform digital hanya mengatur soal perusahaan pers. Bisnis pers saja. Bukan soal pemberitaan. Tak ada sangkut pautnya dengan pemberitaaan! Logika ini logika “konyol” dan “anhistorikal.” Sebuah logika sesat. Kenapa?
Pertama, dalam UU Pers sama sekali tidak dipisahkan mana aspek pemberitan mana aspek perusahaan. Keduanya dianggap satu kesatuan yang tidak boleh dicampuri oleh Pemerintah. menganggap Pemerintah hanya boleh mencampuri ranah bisnis atau Perusahaan Pers tetapi tidak boleh mengatur soal pemerintahan, merupakan sudut pandang yang tidak total sehingga sampai pula kepada kesimpulan yang tidak total. Mencampuri bianis pers secara tidak langsung juga mencampuri urusan pers secara keseluruhan. Omong kosong mencampuri perkara perusahaan pers tidak bakalan mencampuri urusan pemberitaan pers.
Kedua, Sejarah sudah membuktikan, pengaturan yang bersifat administratif saja, akhirnya menjadi alat pemerintah untuk membelengu pers. Contohnya, SIUPP atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Sejak awal, dulu pemerintah bilang, SIUPP ini hanya soal administrasi saja, tak terkait sama sekali dengan pemberitaan. Kenyataan SIUPP justeru menjadi senjata ampuh Pemerintah Orde Baru untuk menindas pers. SIUPP menjadi komonitas politik dengan harga mahal.
Ketiga, kalau pemerintah diberikan kesempatan membuat regulasi soal publisher right platform digital, masyarakat pers jangan lugu. Harus diingat, agar dapat operasional regulasi tentang publisher right platform digital pasti harus pula diikuti dengan perbagai peraturan pelaksanaan lainnya. Nah, dari sana menjadi semakin terbuka kemungkinan ada peraturan Pemerintah yang tidak sesui dengan jiwa UU Pers.
Ke empat, perlu difahami konsep publisher right platform digital dibuat belum berdasarkan suatu riset yang mendalam mengenai apa masalah keperluan mayoritas pers online. Belum diteliti bagaimana seandainya publisher right platform digital diterapkan, apa untung ruginya buat pers digital Indonesia. Dasarnya baru pada asumsi-asumsi belaka.
Ungkap Wina Armada Sukardi, pakar hukum pers dan Kode Etik Jurnalistik.
(Tim/Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar